Wednesday, September 27, 2006

3. Yuk, kita masuk...

Selama saya bekerja di industri ini, pertanyaan yang selalu muncul dari banyak orang adalah cara untuk masuk ke sebuah agensi, terutama dari teman-teman yang baru menyelesaikan studi mereka. Apakah mereka harus langsung datang ke kantor langsung dan menaruh surat lamaran mereka, apakah perlu kenal dengan orang dalam yang bisa merekomendasikan mereka atau apakah mereka perlu menari-nari sambil berteriak “Hire Me” sepanjang hari?

Seperti halnya di bidang lain, sebuah perusahaan iklan tidak akan merekrut seseorang tanpa tahu apa kemampuannya dan terus terang, dalam industri ini, khususnya di bagian kreatif, angka yang tertera di ijazah seringkali tidak masuk dalam hitungan.

Jadi apa yang harus dilakukan pertama kali?

Membuat sebuah portfolio.

Saya ulang sekali lagi.

Membuat sebuah PORTFOLIO.

Mulailah dengan mengumpulkan karya-karya yang dihasilkan selama kuliah, tentunya yang berhubungan langsung dengan iklan – atau grafis untuk art director –. Memilih dengan cermat mana saja yang akan ditunjukan ke calon atasan Anda dan membuang karya-karya setengah jadi. Apabila Anda pernah bekerja freelance atau magang, jangan lupa untuk memasukannya ke dalam portfolio Anda.

“tapi, tapi… karya saya tidak sebanyak ituuuuuu!”

Itulah sebabnya saya tidak menulis “mengumpulkan” portfolio. Karena kemungkinan besar Anda akan “membuat” sebuah portfolio. Maaf, beberapa portfolio.

Yang pertama yang harus Anda pikirkan adalah agensi mana yang akan Anda tuju. Sebagai contoh, apabila Anda ingin bekerja ke agensi Old & Rubicube, maka Anda harus tahu klien apa saja yang mereka pegang. Cara paling mudah adalah membeli buku kecil bernama ADI (Advertising Directory of Indonesia) yang selalu diperbarui setiap tahun yang dapat Anda peroleh di toko-toko buku ternama seperti misalnya Aksara, Kinokuniya atau QB (Wow, empat product placements). Buku itu akan menjadi buku pegangan Anda karena dia memuat hampir semua perusahaan yang bergerak di bidang iklan dan produksi.

Kembali ke Old & Rubicube, Anda melihat beberapa klien yang mereka punya dan Anda melihat ada sebuah produk pembersih lantai yang Anda tidak ingat iklannya. Pertanda baik, karena iklan yang tidak menempel di Anda (secara Anda penggemar iklan) biasanya tidak terlalu bagus.

Mulailah membuat sebuah kampanye iklan yang terintegrasi, karena itu akan menunjukkan kemampuan Anda untuk bergerak di berbagai media. Anda bisa membuat mulai dari iklan cetak, iklan televisi, outdoor, ambient dan apabila Anda seorang penulis naskah, iklan radio. Jangan berikan eksekusi yang setengah jadi, berusahalah semaksimal mungkin.

“tapi, tapi… saya kan gak bisa bikin layouuuuut!” teriak si calon penulis naskah.

Langkah terbaik adalah bekerja berpasangan. Apabila Anda adalah seorang penulis naskah, carilah teman yang ingin menjadi pengarah seni, begitu juga sebaliknya. Mulailah bekerja secara tim, karena nantinya pun Anda akan bekerja dengan seorang partner dan ini juga menunjukkan bahwa Anda mampu bekerja tim.

Sekarang waktunya Anda mengirimkan surat lamaran Anda, lengkap dengan Curriculum Vitae dan portfolio yang sudah tersusun rapi dalam sebuah CD. Jagalah CV Anda supaya menarik tapi juga tidak terlalu berlebih. Nama, umur, alamat, nomor telepon (rumah dan HP) dan email. Saya sangat menganjurkan untuk membuat sebuah email khusus untuk keperluan ini dan mungkin jangan memakai nama yang aneh-aneh seperti hunkymacho@yahoo.com atau cutie_pufie@hotmail.com. Dan setelah itu masukanlah kemampuan Anda dan edukasi Anda. Oh, sebaiknya juga jangan masukan Bahasa Indonesia di bagian bahasa, karena ya, hmmm, agak redundan. Lebih baik Anda memasukan bahasa asing yang Anda kuasai.

Dan tunggulah panggilan dari mereka. Mungkin Anda bisa mengecek seminggu sekali, untuk tahu apakah mereka telah menerimanya atau sudah sampai mana prosesnya. Tapi juga jangan terlalu memaksa.

Ketika mereka memanggil Anda untuk wawancara, cetaklah hasil karya Anda. Dengan printer yang bagus dan kertas glossy, misalnya. Jangan pelit, ini adalah investasi.

Bungkuslah semua itu dengan manis, tapi juga jangan terlalu berlebih. Cara yang terbaik adalah menaruh semua itu dalam sebuah map dengan rapi. Bila memungkinkan, belilah map yang terbuat dari kulit, ukuran A3. Ingat, jangan pelit. Ukuran besar akan memungkinkan calon bos Anda untuk melihat karya Anda dengan lebih mudah. Taruhlah karya terbaik Anda di halaman PERTAMA dan TERAKHIR. Ini adalah trik yang selalu dianjurkan oleh Marc Silvestri, seorang komikus amerika ternama. Anda ingin memulai wawancara Anda dengan sebuah ledakan dan mengakhirnya dengan manis, karena halaman terakhirlah yang biasanya akan tetap terbuka setelah review portfolio Anda.

Dan apapun yang terjadi, jangan berargumen, apalagi membantah.

Biarkan karya Anda berbicara sendiri. Di dunia iklan, Anda tidak akan selalu ada di sebelah pembaca atau penonton untuk menjelaskan karya Anda. Apabila CD di hadapan Anda menunjukan kesalahan atau kekurangan, itu adalah amunisi Anda untuk memperbaiki karya Anda untuk portfolio berikutnya. Rendah diri itu perlu.

“Portfolio berikutnya? Arrrrrgh!”

Yup, portfolio berikutnya. Karena seperti yang saya tulis di atas, Anda sebaiknya mempunyai beberapa portfolio sesuai dengan agensi yang Anda tuju. Anda tidak akan menggunakan senapan mesin, karena Anda adalah seorang penembak jitu. Anda akan menggunakan peluru yang berbeda untuk setiap target Anda. Kerja keras, pastinya, tapi Anda juga yang akan menikmati hasilnya.

Sunday, September 10, 2006

2. Wawasan… wawasan…

Proses paling seru dalam memasuki dunia iklan memang bukan dari sisi akademis – tentu saja, semua orang pasti akan bilang begitu- , tapi pada saat kita membuka diri kepada semua hal yang ada di sekitar kita.

Membuka diri? Maksudnya?

Saya ingat pernah membaca sebuah kalimat di sebuah buku tentang advertising – saya lupa judulnya – bahwa orang iklan seharusnya adalah seorang manusia renaissance. Sekedar untuk mengingatkan saja, era renaissance adalah era pencerahan di Eropa pada abad 15 dimana banyak terjadi perkembangan budaya yang sangat pesat dan sering diperdebatkan bermuara di Italia.

Mengapa bisa terjadi hal tersebut?

Karena banyak tokoh yang mengubah paradigma pengetahuan menjadi lebih multi-disiplin. Seorang Leonardo da Vinci, misalnya, mendobrak etos bahwa seorang seniman hanyalah seorang bayaran yang hanya menerima pesanan karya. Dia berusaha untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, mulai dari sastra, kedokteran, teknik, arsitektur dan lain-lain.

Itulah yang seharusnya kita lakukan.

Salah satu alasan mengapa saya cinta terhadap dunia ini adalah bahwa saya diharuskan untuk menguasai, atau minimal mengetahui, hampir semua disiplin yang ada. Hampir tidak ada ruang untuk merasa bosan.

Seorang pengarah seni bisa memegang minimal 3 klien yang berbeda: Telekomunikasi, bank dan motor misalnya. Bayangkan apa yang harus dia lakukan untuk bisa masuk ke dalam ketiga hal yang sangat berbeda itu.

Suatu pagi dia datang dan menerima sebuah brief untuk membuat sebuah iklan televisi tentang Sambungan Langsung Internasional dengan keuntungan yang sangat spesifik dibandingkan dengan para kompetitor. Dia akan mencari tahu, pertama, apakah sebenarnya binatang yang bernama SLI ini? Setelah mengobrak-abrik internet, dia akan berdiskusi dengan partnernya, si penulis naskah yang juga sedang membaca brosur-brosur dan segala informasi yang ditumpahkan klien ke mereka. Untuk hari itu saja mereka akan mendalami sebuah disiplin yang tidak familiar untuk mereka. Setelah akhirnya menemukan esensi keuntungan produk tersebut, mereka akan mengembangkan ide dasar itu ke berbagai konsep yang nantinya akan dipresentasikan ke atasan mereka. Oh, jangan lupa tenggat waktu yang luar biasa ketat.

Sekitar jam tiga siang, mereka akhirnya bisa menarik nafas lega melihat konsep-konsep yang telah tercoret-coret di hadapan mereka. Tapi sebelum mereka bisa saling menepuk pundak, email mereka berbunyi dalam waktu yang bersamaan. Sebuah brief baru datang untuk klien bank mereka yang akan meluncurkan sebuah sistem kredit baru dengan sistem hadiah langsung uang kontan dan akan dikomunikasikan dalam bentuk iklan cetak yang akan tayang dalam satu minggu.

Umpatan dan caci maki.

Mereka pun menggali informasi tentang prosedur kredit dan bagaimana cara mengkomunikasikannya sehingga terlihat berbeda dengan kompetitor, yang notabene sudah meluncurkannya sekitar 2 bulan yang lalu. Proses brainstorming pun dimulai dan isi otak mereka yang sudah dipenuhi dengan telekomunikasi harus dirubah.

Dari kasus diatas, kita bisa melihat bagaimana otak praktisi iklan harus mempunyai fleksibilitas yang sangat tinggi. Pekerjaan menuntut mereka untuk membuka wawasan mereka seluas mungkin; mereka harus menjadi sebuah ensiklopedi yang siap diisi hal baru kapan saja – mereka adalah wikipedia. Dan itu bukanlah hal yang buruk.

Itulah salah satu keuntungan yang terbesar dalam industri iklan.

Apa yang terjadi kepada pasangan di atas?

Guys, besok briefing campaign motor baru yaaa!”

Dan tiba-tiba jeritan pilu memenuhi ruangan itu.

Monday, September 26, 2005

1. Kemana saya pergi?

Banyak jalan menuju Roma.

Sangat basi. Tapi hal itu berlaku di dunia kreatif periklanan.

Sebenarnya ada dua rute yang bisa diambil untuk masuk ke sebuah agensi. Yang pertama sebagai seorang Direktur Seni -becanda, sebenarnya Pengarah Seni- (Art Director) atau sebagai seorang Penulis Naskah (Copywriter). Kedua jabatan itu sebenarnya pada akhirnya akan melebur karena tuntutan pekerjaan. Seorang pengarah seni harus bisa bermain dengan kata-kata dan begitu juga sebaliknya, seorang penulis naskah harus bisa berpikir secara visual.

Sehingga konsep yang dikeluarkan akan menjadi lebih matang.

Kedua bidang diatas ada sebenarnya untuk membagi tugas dan sebuah karya yang menggabungkan dua pikiran akan menjadi lebih baik.

Harus bisa menggambar!

Satu rahasia terbesar dalam dunia periklanan: Anda tidak harus bisa menggambar untuk menjadi seorang pengarah seni.

Untuk masuk ke bidang ini, hal yang paling utama adalah mempunyai cita rasa visual yang tinggi. Sebuah bidang karya yang secara visual berantakan akan merusak sebuah konsep yang kuat. Oleh karena itulah seorang pengarah seni diperlukan.

Untuk mengemas sebuah dagangan sehingga konsumen mau membelinya.

-Sekitar 80% dari pembaca akan memaki saya setelah paragraf diatas-


Tapi memang itu sebenarnya tugas seorang pengarah seni.

-Oh, dan jangan lupa juga untuk menjadi seorang pengarah seni, Anda harus mempunyai ego yang tinggi. Paling tidak itulah yang terjadi sekarang ini-

Bagaimana caranya memperoleh hal tersebut?

Secara akademis, ada beberapa jalan yang bisa Anda ambil untuk mengasahnya. Desain Grafis adalah pilihan yang paling umum. Disitu Anda dapat mempelajari teknik-teknik dasar grafis yang akan membantu Anda untuk memperindah karya Anda mulai dari tipografi, teori warna hingga komunikasi visual.

Pilihan lain adalah Fotografi. Seorang pengarah seni yang baik adalah seseorang yang mempunyai mata yang tajam secara visual. Dia harus tahu teknik pencahayaan yang baik, tata letak yang rapi (ataupun yang berantakan) dan tentunya bagaimana menggabungkan semua elemen visual dalam sebuah karya.

Mungkin itulah yang mengharuskan seorang pengarah seni untuk menguasai minimal kedua bidang diatas.

Dan dia juga harus sangat rewel. Dalam arti kata, sewaktu membuat sebuah karya, dia harus sangat teliti dalam setiap detilnya. Heading, kerning, leading dan ing-ing lainnya.

Itulah yang membuatnya bekerja semalaman sementara si penulis naskah tidur di sofa ruang televisi lantai tiga.

Menulis itu gampang?

Jalan untuk menjadi seorang penulis relatif lebih mudah karena bidang ini lebih banyak didominasi oleh kecintaan seseorang untuk menulis. Anda bisa saja kuliah di di jurusan Pertanian, tapi Anda adalah seorang penulis amatir yang gemar menelan semua jenis karya tulis. Kemungkinan besar Anda akan bisa menjadi seorang penulis.

Semudah itukah?

Tentu saja.

Tidak.

Karena Anda akan diharuskan untuk berbicara ke beberapa juta konsumen dengan bahasa dan jargon mereka masing-masing sesuai dengan ciri khas mereka. Anda tidak akan membuat sebuah diari yang menceritakan kehidupan Anda, tapi membuat sebuah cerita mengenai sebuah produk sehingga konsumen merasa terpanggil, simpati dan pada akhirnya ingin mencobanya.

Akhir-akhir ini, banyak penulis naskah yang tidak terlalu mengindahkan gaya tulisan mereka. Mungkin karena trend sekarang sudah sedikit mengecilkan peran mereka sebagai penulis, karena banyak iklan-iklan yang keluar sekarang tidak memuat banyak tulisan. Tapi sebuah karya tulis yang indah tidak akan bisa membuat seseorang menjadi bosan begitu membacanya. Setiap paragraf mengundang pembaca untuk terus berjalan menuju paragraf berikutnya, sampai pada akhirnya pembaca sampai ke tujuan akhir dan tersenyum puas.

Itulah yang seharusnya seorang penulis naskah cari dalam membuat karyanya.

Membawa pembaca dalam ruang imajinasinya… dan membiarkannya bergerak leluasa.

Tidak gampang.

Sangat susah.

Tapi menantang.

Dan jangan pernah takut diancam oleh seorang pengarah seni untuk memperpendek sebuah tulisan.

Thursday, September 08, 2005

Sedikit prolog...

Sekitar sepuluh tahun yang lalu di sebuah negara kecil di Eropa, saya sedang duduk di ruang keluarga, menikmati secangkir coklat panas sembari menonton TV. Cuaca malam memang sedang tidak mendukung untuk keluar rumah. Saya memutuskan untuk menikmati acara-acara tidak penting di TV, mulai dari opera sabun, berita, musik, film dan tentunya favorit saya, film tengah malam yang biasanya dipenuhi oleh adegan-adegan "seru".

Posisi duduk sudah nyaman, dinginnya malam terkontraskan dengan hangatnya cangkir saya. Selimut sudah terpasang hingga dagu. Hal-hal kecil yang membuat saya malas beranjak dari sofa. Dan untungnya, membuat saya malas untuk meraih remote yang tergeletak diatas meja.

Dan sayapun melihat sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya perhatikan.

Di layar kaca itu terpampang sebuah pemandangan savannah, dengan warna yang sangat panas. Matahari terik, rumput kering dan seorang wanita dengan pakaian petualang sedang memanjat sebuah bukit kecil dengan bersimbah peluh. Dengan penuh usaha dia merangkak dan merangkak. Cut scene ke sisi lain bukit itu, dimana ada seekor singa juga sedang memanjat bukit kecil itu. Kedua situasi itu bergantian muncul, sampai akhirnya mereka bertemu muka di puncak bukit itu. Dan oh, ada sebuah botol hijau kecil berdiri disitu. Sang raja hutan mengaum dengan kerasnya, mencoba mengusir si wanita. Dan tiba-tiba... si wanita membuka mulutnya, dan dia mengaum keras, mulut lebih lebar dari yang seharusnya, dengan ekspresi keras, dan lirik lagu pun muncul (sesuatu seperti... "I'm gonna ---- on you!!... maaf, amnesia). Singa pun berbalik badan dan kabur, si wanita mengambil botol itu, dan meminumnya sambil berdiri dilatarbelakangi pemandangan matahari terbenam.

Muncul nama minuman itu. Perrier.

30 detik.

Setengah menit.

Waktu yang sangat singkat itu telah mengubah hidup saya selamanya.

Saya sempat terpaku selama beberapa saat. Banyak hal lain yang lewat di depan mata saya pada saat itu -ibu mencuci baju, wanita cantik menyemprotkan parfum...- tapi tetap gambar wanita berdiri di puncak bukit dengan matahari terbenam tertancap dalam pikiran saya.

Apakah ini?

Sebegitu hebatnya kah kekuatan sebuah rangkaian gambar selama 30 detik untuk membuat saya ingin mencoba minuman itu?

Disitulah saya mulai tertarik untuk mulai memperhatikan film-film singkat yang terselip di antara acara favorit saya.

Dan saya menemukan berbagai keajaiban yang diciptakan untuk menjual sebuah barang.

Planet-planet yang menari. Poster di sebuah cafe yang menjadi hidup. Orang menyapu sambil mendendangkan lagu tapi hanya sebait. Musisi bermain gitar dengan sebuah botol. Dan banyak hal lainnya.

Sayapun mulai mencari jalan untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang dunia yang aneh itu.

Setelah membuka-buka jadwal TV, ternyata ada sebuah acara yang khusus membahas itu. Saya membelakan diri tidur lebih malam hanya untuk menonton acara itu, M6 PUB. Dan dia memutarkan berbagai keajaiban dari seluruh dunia.

Dua supir truk berkelahi di sebuah bar setelah bertukar minuman. Seorang lelaki melepaskan celana di sebuah tempat cuci umum. Koran digunakan untuk menyembunyikan barang pribadi. Wanita menyamarkan pembunuhan dengan alat yang paling tidak mungkin.

Dan saya menelan semuanya.

Beberapa bulan kemudian, satu bioskop memutar sebuah marathon iklan. 12 jam.

Tentunya saya ada disitu. Sambil mata terpaku ke layar.

Ribuan dagangan yang dibungkus dalam ribuan kemasan memenuhi otak saya.

Sayapun tahu kalau saya ingin bisa membuat hal itu.

Saya tahu harus kemana saya nantinya bekerja.

Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya kesana.